03/09/20

SENI HADRAH DI JAWA TIMUR

A. Sejarah dan Perkembangan Seni Hadroh di Jawa Timur

Dalam tradisi Islam Indonesia, banyak tersebar jenis kesenian yang melantunkan sholawat nabi yang diiringi tabuhan rebana (terbang). seperti: hadroh, banjari, qasidah, gambus dan sebagainya. 
Di Jawa Timur, kesenian sholawat yang banyak dipraktekkan adalah hadroh yang ditampilkan oleh sebuah organisasi bernama ISHARI.
ISHARI merupakan organisasi sosial keagamaan yang menjalankan thoriqoh mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW
Anggotanya berasal dari kumpulan (jam’iyyah) pembacaan Maulidu Syaroful Anam dan disahuti dengan bacaan Sholawat Hadroh.
Dalam setiap penampilannya, pembacaan shalawat ini diiringi dengan tabuhan rebana dan gerakan tubuh ( sejenis tarian ) yang dinamakan Roddat.
Pembacaan shalawat yang demikianlah yang kemudian disebut dengan hadroh.
Amalan hadrah ISHARI diklaim sebagai thoriqoh, karena memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh kesenian serupa yang telah ditentukan oleh pendirinya. Setiap elemen meliputi bacaan, lagu, tabuhan rebana, serta roddat tidak boleh dimodifikasi kecuali oleh majelis hadi atau badal hadi. 
Majlis Hadi merupakan orang yang memiliki sanad genetik kepada Habib Syekh Botoputih. 
Sementara Badal Hadi adalah mereka yang memiliki sanad keilmuan langsung kepada Habib Syekh Botoputih atau Majelis Hadi dan ditunjuk menjadi Badal Hadi. Transmisi amalan hadrah dari Hadi ke jamaah
ISHARI juga harus digurukan melalui mekanisme talqin. Mekanisme talqin adalah pengajaran amalan hadroh yang dilakukan oleh Hadi atau Badal Hadi kepada jamaah dengan metode musyafahah ( berhadap hadapan ).
Orang yang pertama kali memperkenalkan kesenian ini di Indonesia adalah Habib Syaikh bin Ahmad bin Abdullah bin Ali Bafaqih yang masyhur dengan nama Habib Syaikh Botoputih. Beliau datang ke Surabaya 
untuk berdakwah pada tahun 1851. 
Selain mengajarkan ilmu agama, Habib Syaikh juga menjadi seorang mursyid thoriqoh hadroh mahabbatur rasul.

Kesenian ini mulai menyebar luas khususnya di Jawa Timur dan Madura dilakukan oleh KH. Abdur Rokhim bin Abdul Hadi. Oleh karena itu, di beberapa daerah di Jawa Timur dan Madura menyebut hadroh dengan "HADROH DUR ROKHIMAN", yang dinisbatkan pada nama KH. Abdur Rokhim. 
Silsilah hadroh itu dari
Habib Syaikh bin Ahmad bin Abdulloh Bafaqih, 
kepada Syaikh Abdur Rohman
kepada Abdul Hadi bin Abdur Rohman, lalu 
kepada KH. Abdur Rokhim bin Abdul Hadi. 
Nah, di era mbah Abdur Rokhim inilah kegiatan hadroh mulai menyebar luas,
Karena itu, di beberapa wilayah, gresik misalnya, hadroan ISHARI disebut dengan hadroh durrokhiman, nisbat kepada mbah Abdur Rokhim bin Abdul Hadi.
Ada juga yang keterangan informan bahwa sistematika hadrah meliputi bacaan sholawat, lagu, pukulan dan roddat dirumuskan dan disebarkan oleh KH. Abdur Rokhim. Sementara Habib Syaikh Bafaqih hanya membawa terbang dan sanad pemukulannya saja.
Hal ini diperkuat dengan 
ketiadaannya kesenian serupa di tempat asal Habib Syaikh yaitu Yaman dan adanya kitab Diwan Hadrah yang berisi aturan baku keseluruhan hadrah serta 
bacaannya yang dikarang oleh KH. Abdur Rokhim.
 
“Habib Syaikh bafaqih ini Cuma bawa terbangnya saja. Tokoh yang membuat hadroh itu ya mbah Abdur Rokhim. Beliau gabungkan 
kesenian yang dibawa oleh Habib Syaikh dengan kebudayaan lokal dan tasawwuf menjadi apa yang kita sebut sekarang sebagai hadroh. 
Buktinya ya qanun ( Diwan Hadrah ) karangan Mbah Dur Rokhim itu. 
Dan lagi, di Yaman tempat asal Mbah Habib Syaikh nggak ada hadroan kayak ISHARI di Indonesia ini mas.” kata M. Rozin Faza Al Mubarok, Jama’ah ISHARI, 1 Januari 2017.
Massifnya jamaah ISHARI ini kemudian membuat KH. Wahhab Chasbulloh, yang menjabat sebagai Ro’is ‘Am Nahdlatul Ulama waktu itu, 
menginginkan jam’iyyah hadroh menjadi organisasi resmi dengan menginstruksikan KH. Abdur Rokhim membentuk pengurus pusat.
Organisasi hadroh ini kemudian berdiri dengan nama Ikatan Seni Hadrah 
Indonesia (ISHARI) yang diketuai oleh KH. Abdur Rokhim pada tanggal 9 
September 1961. 
Setelah mengalami berbagai penyesuaian dan penyusunan struktur organisasi, pada muktamar NU ke 23 di Solo, ISHARI resmi menjadi lembaga binaan Syuriah PBNU.
Dalam perjalanannya, organisasi ini mengalami pasang surut. Pada Muktamar NU ke 29 di Cipasung, ISHARI ditetapkan menjadi badan otonom di NU. 
Menanggapi ketetapan tersebut, pada tahun 1995 diadakan Munas ISHARI untuk pertama kalinya di PP. Sunan Drajat Paciran Lamongan.
Pada Muktamar NU di Lirboyo tahun 1999, ISHARI tak lagi menjadi badan otonom NU, melainkan menjadi organisasi binaan Lembaga Seni Budaya Nahdlatul Ulama (LSB NU).
Pada Muktamar 31 NU, ISHARI dipindahkan lagi di bawah binaan Lembaga Thoriqoh al Mu’tabaroh an Nahdliyyah ( LTMN ). 
Titik terbawah ISHARI dalam geliat organisasi NU adalah pada Muktamar ke 32 Makassar dimana ISHARI tak lagi ada dalam AD/ART NU.
Titik balik eksistensi ISHARI dalam tubuh Nahdlatul Ulama adalah pada Muktamar 2014 di Jombang. Muktamar ke 33 tersebut menetapkan ISHARI kembali menjadi Badan Otonom NU. 
Hal ini tak lepas dari usaha 
keras serta lobi yang dilakukan oleh pegiat ISHARI di Jawa Timur kepada para kyai dan pimpinan NU. 
Setelah resmi menjadi Banom, ISHARI kemudian 
berganti nama menjadi ISHARI NU untuk menunjukkan eksistensinya sebagai badan otonom Nahdlatul Ulama. 
“Keberadaan ISHARI sebagai badan otonom NU tak lepas dari do’a para ulama dan perjuangan kami sebagai pengurus ISHARI wilayah Jawa Timur. Kami berusaha kesana kemari menemui para petinggi 
NU supaya bisa memberikan kami tempat dalam NU. Karena harus 
diakui, ISHARI ini lahir dari organisasi NU. Orang orangnya pun  ( anggota ) juga orang NU semua.”
kata Ir H Yusuf Arif, Ketua ISHARI Jawa Timur, 14 Mei 2016. 
“Bisa dibilang bahwa ISHARI itu adalah NU yang sebenarnya. Ada guyonan yang biasa diucapkan sama teman-teman. Kalau orang 
ISHARI pasti NU. Tapi orang NU belum tentu bisa terbangan. Coba sampean lihat setiap haul Masyayikh khususnya di Jawa Timur, pasti pakai hadroan. Itulah yang membuat kami berusaha keras supaya 
ISHARI kembali lagi ke NU.”
tambah KH Mahmud Al Khusori Sami’, Rois Majelis Hadi, 29 Desember 2016.

Memang, pada waktu diresmikan sebagai Badan Otonom NU, organisasi ISHARI baru terdapat di Jawa Timur saja. Baru kemudian setelah itu, muncul Pimpinan Wilayah ISHARI NU Jawa Tengah dan Kalimantan Timur. 
Para petinggi ISHARI NU Jawa Timur sebagai aktor dibalik diresmikannya ISHARI NU sebagai banom
diberi mandat oleh petinggi Nahdlatul Ulama untuk mengusahakan penyebaran ISHARI se Indonesia, 
sebagaimana organisasi induknya. 
Selain itu, sebagai organisasi, ISHARI NU 
juga dibebani penataan admisistrasi untuk membentuk sistem yang baik. 
menurut Ir H Yusuf Arif Anwar, “Tantangan kedepan ISHARI sebagai organisasi tentu adalah administrasi. Di beberapa cabang, anggota ISHARI banyak yang sudah tua, sehingga tuntutan dalam berorganisasi juga sulit dilakukan.” 
“ISHARI selain di Jawa Timur, sekarang sudah ada di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Sebenarnya hadrah ISHARI sudah ada di banyak tempat di Indonesia, tinggal menata dan meresmikan organisasinya saja. Untuk itu, kami akan memfasilitasi semampu kami. Insya Alloh kami akan terus berjuang untuk mempertahankan 
warisan ulama nusantara ini.” 
Setelah diresmikan menjadi badan otonom, ISHARI NU Jawa Timur telah mengalami bongkar pasang struktur kepemimpinan. Pengurus PW ISHARI NU JAWA TIMUR yang kini menjabat adalah pengurus yang ditetapkan dalam agenda Musyawarah Kerja II PW ISHARI NU Jawa Timur di Surabaya, Tanggal 25 September 2013 dan menjabat pada periode 2013 - 2018.
Susunan pengurus ini dirombak kembali pada Musyawarah Kerja II PW ISHARI NU Jawa Timur di Malang dengan menambahkan seksi Kreatif dan Peningkatan SDM

A. DEWAN MUSYTASAR 
KH. Miftahul Akhyar 
Dr. KH. Hasan Mutawakkil Alalloh 
Drs. KH. Hasib Wahhab Chasbulloh
KH. Bahri Ikhsan 
KH. Asnawi Fauzan 
DR. KH. Abdul Ghofur 
KH. Muslikhuddin Abbas 
KH. Abu Kholis 
KH. Muhaimin Makky 

B. MAJLIS HADI 
1. ROIS AM: 
KH. Mahmud Al Chusori Sami' 
2. WAKIL ROIS I:
A. Ghufron Muhammad 
3. WAKIL ROIS II: 
H. Ainul Musthofa Sami' 
4. WAKIL ROIS III: 
Ali Faisol Muhammad 
5. WAKIL ROIS IV: 
Abd Ghofur Nur 
6. KATIB: 
Taqdir Ali Syahbana 
7. WAKIL KATIB I: 
Abd Rokhim Abd Hadi 
8. WAKIL KATIB II: 
Yahya Abd Hadi 
9. WAKIL KATIB III: 
Ahrus Suaidi Sami' 
10. A'WAN 1: 
KH. Munif Sya'roni 
11. A'WAN 2: 
KH. Ahmad Zaini 
12. A'WAN 3:
 KH. Anwari Syaikhon 
13. A'WAN 4: 
KH. Abd Ghofur 
14. A'WAN 5: 
Ust. H. M. Nasrun 

C. MAJLIS TANFIDZI 
1. KETUA UMUM: 
Ust. Ir. H. Yusuf Arif Anwar
2. KETUA I:
Ust. Zaenal Arifin 
3. KETUA II: 
Ust. H. M. Aji Muslikh 
4. KETUA III: 
Gus. M ZAINUDDIN 
5. KETUA IV: 
Ust. Uswan Hadi, SE.
6. SEKRETARIS UMUM: 
Ust. M. Nuruddin 
7. SEKRETARIS I: 
Ust. M. Ubaid Zuhri, S.Ag. 
8. SEKRETARIS II: 
Ust. Drs. M. JAMIL 
9. SEKRETARIS III: 
Ust. Ir. M. Sodik 
10. SEKRETARIS IV: 
Ust. H. Uman Khoir, S.Ag. 
11. BENDAHARA UMUM: 
dr. H. Amir Ragil KD. 
12. BENDAHARA I: 
KH. M. Zaky Nur Salim 
13.BENDAHARA II: 
Ust. Nuaim Abud 
14. Seksi Pendidikan dan Pengkaderan: 
Ust. Mudoffar 
15. Seksi Humas: 
Ust. Ahmad Yusuf 
16. Seksi Sarana dan Perlengkapan: 
Ust. Syaikuddin 
17. Seksi Kreatif dan Peningkatan SDM: 
Drs. Syaiful Anam 

B. Tata Cara Pelaksanaan Seni Hadrah di Jawa Timur
Pelaksanaan kesenian hadroh di Jawa Timur dilakukan pada malam hari. Maka kemudian acara berhadrah (hadroan) kadang disebut dengan 
lailatul hadroh. Penyelenggaraan hadroh dilakukan rutin pada malam jum’at dan waktu-waktu sakral dalam Islam seperti: maulud nabi, isra’ mi’raj, dan lain sebagainya.
Hadroan seringkali pula dilakukan dalam moment haul leluhur ( para kyai yang menyebarkan dan mengajarkan agama di pesantren atau daerah tertentu ), dan hajat individu yang berbarengan dengan slametan untuk mendapatkan keselamatan dan terhindar dari petaka (bala) dalam masa peralihan hidup (rites of passage).
Sementara tempat pelaksanaan hadroh diharuskan dalam majelis yang baik, seperti masjid atau musholla. 
Untuk pelaksanaan hadroh yang diselenggarakan oleh seorang individu, bisa juga dilaksanakan di dalam atau halaman rumah penyelenggara. 
Akan tetapi hal ini sifatnya darurat.
Jika rumah penyelenggara dekat dengan masjid atau musholla, maka lebih diutamakan melaksanakan hadroh di masjid atau musholla tersebut.
Dalam setiap penyelenggaraan kesenian hadroh, ada beberapa orang yang terlibat dengan fungsi dan tugasnya masing masing,
yaitu; seorang pemimpin yang disebut hadi atau badal hadi, rowi, 6 orang penabuh terbang (rebana), dan kelompok roddat. Hadi yang dimaksud disini bukanlah seseorang yang mempunyai sanad genetik kepada Habib Syaikh Bafaqih melainkan pimpinan hadroh. 
“Hadi dalam hadroh itu ada dua mas. Yang pertama itu, dzurriyyah nya Habib Syaikh Botoputih. Yang kedua ya pimpinan hadroh itu; yang mbawak”
Tugas seorang hadi adalah membaca syair yang terdapat dalam kitab Maulidu Syaroful Anam dan Diwan Hadroh. Satu paket syair yang terdapat dalam kitab tersebut kemudian disebut dengan mukhud
mukhud yaitu:
 Ibtida’, bi Syahri, Tanaqqol Ta, Wulidal Habib, Sholla 
‘Alaika, Badat Lana, Mahallul Qiyam, Faturqul Washli, Fazat Halimah, Man 
Mitsluhu, Ya Maulidan, ShollaIlohu, Ta’alaubina dan Habibun.
Aktifitas memimpin hadrah dengan membaca syair kitab Maulid Syaroful Anam ini kemudian disebut dengan aktifitas mbawa’.
Seorang hadi duduk tawaruk dengan membawa terbang (rebana) didepan majlis dihadapan para jama’ah penari roddat. 
Hadi merupakan pusat dari kegiatan hadrah karena selain sebagai vokal utama, ia juga berfungsi untuk menentukan tempo dengan menggunakan terbang dengan jenis pukulan 
kontengan (lanangan) dan juga pemberi tanda ketika akan dimulainya bacaan 
sholawat jawaban dan yang menentukan perubahan bentuk irama musik.
Penabuh terbang yang berjumlah 6 orang duduk sejajar dengan hadi di depan majelis.
Cara duduknya juga sama dengan hadi, yaitu duduk tawarruk. Dari 6 orang penerbang tersebut, 3 orang duduk disebelah kanan hadi, dan 3 orang lainnya di sebelah kiri. 
Tugas dari penerbang adalah menabuh terbang 
sesuai dengan irama dan bagian yang ditentukan. Kemudian ada pembaca 
natsar dalam kitab Maulidu Syaroful Anam yang disebut rowi. 
Rowi berjumlah fleksibel, bisa satu atau dua tergantung kebutuhan. Dalam skala penampilan 
hadroh yang kecil, rawi biasanya merangkap sebagai pembawa acara. 
Pembacaan natsar oleh rowi dilakukan dengan nada dan irama yang khas. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar